Pondok Ilmu Nusantara

Wednesday 28 September 2016

Sekelumit Kisah Surya

Andaikan kita boleh berargumen kepada Tuhan sebelum kita lahir, mungkin kita akan menyeleksi orang seperti apa yang pantas menjadi orang tua kita. Tentulah bukan orang tua miskin yang tidak menjamin masa depan. Bukan pemulung, pengemis, ataupun pedagang kaki lima. Siapa yang mau? Tidak ada orang di dunia yang sudi dilahirkan miskin. Semua diukur dengan uang. Semuanya! Titik! Cuma orang sinting yang berani bilang “Aku siap miskin!”. Atau bisa jadi ini perkara keberuntungan? Dilahirkan miskin dan tidak miskin adalah dua mata koin yang Tuhan lempar untuk kita. 


Kemiskinan bukan hal aneh bagiku. Aku sudah hidup miskin sejak orok. Orang tuaku miskin, kakek nenekku miskin, mungkin buyutku juga. Kenyataan ini membuat aku sentimentil dengan orang kaya. Aku benci mereka yang suka menceramahi kami untuk sabar. Sabar? Kalau kami tidak sabar mungkin kami sudah mati terjun ke sungai. Mereka dengan mudahnya berkata seolah mereka lebih kuat dari kami, padahal itu hanya skenario mereka karena mereka tidak pernah seperti kami. Mereka tidak pernah menahan lapar karena tidak punya beras. Mereka tidak pernah makan nasi bekas 2 – 3 hari lalu. Mereka tidak pernah menahan sakit karena tidak sanggup membeli obat. Mereka tidak pernah menunggu uluran tangan para dermawan agar kami berbahagia saat lebaran. Mereka tidak pernah!
Sepertinya Tuhan tidak pernah berhenti menguji hamba hina sepertiku ini. Setahun lalu, ayahku yang hanya seorang petani terserang struk. Keadaan keluargaku semakin tercekik. Lalu siapa yang akan mencari sesuap nasi untuk kami? Tuhan? Tuhan akan mengirimi kami nasi? Kami tidak punya uang untuk membawa ayah ke rumah sakit. Hanya beberapa tetangga yang masih menaroh empati untuk berkunjung dan membawa beberapa makanan seperti roti, susu, dan buah. Ibuku yang juga seorang petani pun beralih profesi menjadi perawat pada saat itu. Perawat yang memijat, menyuapi, dan memandikan ayah yang hanya terbujur kaku di tempat tidur. Terpaksa, uang tabunganku yang hanya beberapa ratus aku pakai untuk menyokong perut kami saat itu.
Di setiap sujudku aku berdoa. Tuhan… aku ingin sudahi kehidupan pahit ini. Bukankah hamba juga berhak mendapat kebahagiaan itu? Apa kurang hamba? Hamba sudah menjalankan kewajiban hamba untuk sholat, puasa, dan sedekah. Apakah itu tidak cukup? Aku menangis setiap kali membacakan kalimat – kalimat itu.
Maka, pada suatu malam sehabis isya, muncul sebuah ide dibenakku. Setelah lulus SMA, aku ingin merantau ke ibukota. Niatku tulus. Aku ingin mengangkat derajat mereka, orang tuaku terutama. Aku punya kakak perempuan yang gagal memberi kami kebahagiaan. Pasca pernikahannya, dia pergi bersama suaminya ke Kalimantan dan tak pernah kembali seakan melupakan keberadaan kami. Mungkin kami sampah dimatanya karena sejak kecil pun dia sama sekali tak peduli dengan keadaan kami. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi mengungkit – ngungkitnya. Itu hanya mengorek luka kedua orang tuaku yang sudah mereka kubur dalam – dalam. Dan lagi, aku masih punya Amir, adik laki – lakiku yang masih SD. Aku tidak sanggup melihat dia mengulang kesalahan kakakknya. Aku ingin dia bahagia dan berhasil. Mewujudkan cita – citanya menjadi polisi kelak. Aamiin.
“Mak, aku sepertinya mau merantau saja ke Jakarta.” Pintaku pada emak yang baru saja melepas mukenahnya.
“Merantau? Kamu yakin?” Ujar emak. Suaranya parau, aku tebak dia menangis ketika berdoa tadi.
“Yakin sekali. Aku masih punya tabungan sedikit. Itu cukup untuk satu bulan disana. Aku akan kerja keras dan menjemput kebahagiaan keluarga kita. Mak tahu Burhan kan? Dia temanku wakktu SD. Beberapa hari lalu dia datang dan mengajakku. Ini kesempatanku Mak.” Jelasku. Emak hanya tertunduk.
“Emak tidak minta apa – apa darimu, Surya. Begini saja emak sudah bahagia.” Kata emak. Tanganya yang sudah berkeriput mengusap punggungku.
“Emak mau kita hidup seperti ini terus? Aku tidak sanggup, Mak! Aku mati – matian cari duit untuk sekolah dan aku tidak mau menyianyiakan kesempatan ini. Tolong restui aku, Mak…”
Tak kusangka air mata emak jatuh mendengar kalimatku. Kemudian dia kembali berujar, “Emak restui kamu, Emak menangis karena bahagia.”
Ku peluk emak seketika itu juga. Tubuhnya sudah termakan usia dan rapuh. Bulir air mata pun jatuh juga di kedua mataku.
***
Begitu ijazah sudah aku terima dari sekolah, aku langsung meluncur ke ibukota. Aku berangkat pagi – pagi sekali. Aku melarang emak mengantarku ke stasiun. Cuaca sangat dingin, aku tidak mau emak sakit dan terserang flu. Aku sudah mencatat nomor HP tetanggaku, kelak aku punya uang dan bisa membali HP, aku akan sering – sering memberi kabar. Sempat aku menangis ketika berpamitan dengan abah.
“Hati – hati Surya... Abah mau sembuh. Abah mau kerja lagi. Tolong belikan abah obat ya kalau sudah punya uang.” Itu seutas kalimat yang disampaikan abah. Memang sangat dramatis sekali. Itulah kami! Hal yang paling sederhana bisa berubah menjadi sangat menyedihkan. Namun, itu adalah sumber kekuatanku. Niatku semakin berapi – api untuk membahagiakan mereka.

Bus yang ku tumpangi cukup tenang dan perjalanan cukup lancar. Aku tahu betul alamat Burhan karena beberapa kali aku pernah singgah di tempat kostnya. 
Begitu sampai, Burhan menyambutku dengan hangat. Meskipun tempat kostnya terbilang sempit karena harganya memang cukup murah tapi areanya cukup nyaman. Pemilik kostnya pun sangat ramah. Membuatku semakin betah tinggal disana.
“Aku sudah bilang ke atasan soal kamu. Kamu besok bisa mulai bekerja!” Ujar Burhan.
“Alhamdulillah..” Ucapku. 
Yah, besok aku akan bekerja sebagai janitor di Bank Swasta Ibukota. Aku paham betul, aku Cuma bermodal ijazah SMA kampung yang keberadaannya pun mungkin tidak diketahui banyak orang. Maka, aku tidak pernah bermimpi terlalu muluk mau menjadi manajer atau pegawai negri. Mimpi cuma milik orang berduit.
***
Syukurlah semua karyawan ditempat kerjaku sangat baik. Semuanya ramah dan tidak ada senioritas. Meskipun aku hanya tukang sapu dan lap di kantor, mereka tidak pernah berlaku kasar terhadapku. Pernah aku sekali berbuat kesalahan seperti lupa mengganti sabun di toilet. Seorang customer komplain ke atasanku. Namun, beliau memberitahuku dengan pelan dan halus.
Gaji yang kuterima memang tidak terlalu besar. Cukuplah untuk hidup di ibukota sendiri. Kuhitung – hitung, aku bayar setengah uang kost dengan Burhan sebesar Rp.200.000. Lalu, untuk biaya makan dan sabun aku targetkan Rp.600.000. Sisanya aku tabung untuk beli HP. Aku malu menjadi satu – satunya orang yang tidak punya HP.
Gaji kedua, ketiga, sampai kelima aku masih belum bisa mengirim uang ke emak. Ada perasaan bersalah memang, tapi aku pikir emak pasti mengerti. Toh beberapa bulan lalu waktu aku kasih kabar, emak bilang kalau dia berjualan pisang goreng. Adikku pun turut membantu katanya. Aku yakin emak tidak kelaparan dan kekurangan apapun. Disini, banyak hal diluar dugaan terjadi. Banyak kebutuhan yang harus aku dahulukan. Beberapa baju yang aku bawa dari kampung sudah tidak layak pakai. Maka, setiap bulan aku wajib membeli yang baru. Belum ajakan teman nongkrong diluar. Yah, minimal Rp. 50.000 – Rp. 100.000 uang harus keluar. Dan Alhamdulillah… niatku beli HP terpenuhi, meskipun Cuma HP Cina yang satu jutaan. Aku tidak perlu malu lagi sekarang dengan yang lain, terlebih aku tak perlu repot meminjam HP Burhan untuk sekedar menghubungi emak.
***
Rotasi bumi terasa cepat di ibukota. Usiaku merantau kini 2 tahun. Ada satu momen terjadi yang bisa dikatakan telah mengubah duniaku di ibukota. Persisnya adalah ketika seorangfront liner yang resign mendadak. Atasanku, Pak Hendrik, kalang kabut saat itu karena kantor sedang sangat ramai. Secara mendadak dia menawarkanku untuk menjadi front linersementara sampai orang baru datang. Dia melihat pengetahuanku tentang komputer cukup baik dan penampilanku pun tidak jauh beda dengan yang lain. Tidak begitu sulit berada diposisi itu. Aku cepat mengerti dan paham segala hal yang diajarkan atasanku. Setelah itu keajaiban pun kembali terjadi. Pak Hendrik memutuskan agar aku tetap menjadi front liner. Itu artinya aku tidak perlu lagi datang pagi – pagi untuk menyapu dan mengepel lantai. 
Seiring dengan posisiku yang membaik. Aku memutuskan pindah kost. Aku merasa kost Burhan sangat sempit sekali. Barang – barangku bertambah banyak setiap bulan.  Untungnya Burhan tidak merasa keberatan. Kostku kali ini berkali – kali lipat lebih baik dari sebelumnya. Kamar mandi, spring bed, kipas angin, lengkap dengan meja kursi dan televisi. Dan lagi, untuk memenuhi kost baru itu aku belum bisa lagi mengirim uang rutin ke emak. Hanya sekali ku kirim karena emak perlu untuk bayar hutang. Setelah itu aku tidak pernah kirim lagi meskipun emak meminta. 
“Mak harap maklum yah. Aku disini hidup sendiri. Perlu makan, beli baju, jajan, dan belum yang lain – lain. Kalau aku kurang uang, emak bisa kirim?” Itu hal terakhir yang aku sampaikan waktu Emak bilang butuh uang. Terkadang aku merasa kasihan terhadap diriku sendiri. Aku iri dengan teman kantorku yang bisa menggunakan uang mereka sesuka hati tanpa pertimbangan panjang kirim ke orang tua. Bahkan kalau gaji mereka habis, dengan cepat orang tua mereka paham dan memberi tambahan uang. Namun, aku sadar kalau menggerutu bukan solusi untuk orang sepertiku. Disini aku harus berjuang untuk menjemput kebahagiaanku. Sama sekali aku tidak bisa bergantung pada emak dan abah.
***
Tepat hari ini ulang tahunku yang ke 25. Aku mengundang teman – teman kantor untuk datang ke tempat kostku. Aku memesan banyak pizza dan minuman. Suasana cukup ramai sekali. Satu – satunya orang yang tidak aku undang datang. Burhan.
“Assalamualaikum… “ Ucap Burhan berdiri didepan pintu kost. Aku mengangkat alisku sedikit terkejut.
“Waalaikumsalam..” Jawabku,
“Sur, ada pesan dari emak kamu. Kamu baca sekarang yah!” Ujar Burhan lagi. Suaranya yang lantang membuat teman – teman kantorku terkekeh. Bahkan salah satu teman kantor yang aku sukai disitu pun tertawa melihat polosnya Burhan. Aku segera berdiri mendekat dan menggiring Burhan keluar.
“Kamu bikin malu aku aja sih Han.” Pekikku kesal. Aku berharap mereka tertawa bukan karena ucapan Burhan melainkan penampilan Burhan yang hanya berkaos oblong kekecilan, celana pendek, dan sandal jepit.
“Malu gimana. Kamu coba baca pesan ini!” Burhan menyodorkan HP nya tapi aku tidak tertarik membaca pesan itu.
“Emak kamu butuh uang. Katanya kamu tidak pernah kirim uang lagi.” Seru Burhan kemudian.
“Biarkan saja. Emak emang selalu begitu. Tapi kamu gak perlu datang kesini juga kan? Malu aku sama semuanya. Kamu kan tinggal kirim lagi pesannya.” Rutukku.
Seketika Burhan membisu.
“Ada hal lain, Burhan? Tidak enak teman – temanku menunggu lama.” Seruku. 
“Baik. Aku mengerti. Tukang sapu sepertiku memang tidak pantas berada ditempat kost mahal ini.” Itu kalimat terakhir Burhan. Lalu dia pergi begitu saja. Ucapannya terlalu berlebihan menurutku. Aku tidak ada waktu untuk mengejarnya. Aku segera kembali masuk dan berkumpul dengan teman kantorku.
***
Karirku semakin baik di Jakarta. Aku yakin ini karena kegigihanku. Pak Hendrik semakin menyukaiku. Dia seringkali mengajakku makan malam atau makan siang bersama. Persis seperti hari ini dia kembali mengundang. “Ada pertemuan yang sangat penting dan kamu harus datang!” Ujarnya di telfon. Tidak ada alasan untuk menolak, maka aku segera meluncur ke tempat itu.
“Aku merasa kagum melihat perkembangan kamu, Surya. Aku ingin kamu mau menjalin hubungan dengan Tiara, anak perempuanku.” Ucap Pak Hendrik serius. Kami berada di restauran langganan Pak Hendrik. Aku sontak terperangah mendengarnya.
“Maksud Bapak?”
“Maukah kamu menikahi anakku?”
Duarrr! Hati ini terasa meledak berkeping – keeping! Tiara? Tiara adalah perempuan cantik yang sekarang menjadi konsultan hebat di Jakarta. Aku merasa tidak sebanding dengannya. Dia berhak mendapat yang lebih baik dariku.
“Bapak pasti bercanda….” Kataku.
“Ini serius, Surya! Aku yakin kamu orang yang sangat pantas menikahi Tiara. Lagipula, dia sepertinya punya rasa ketertarikan terhadapmu. Dia seringkali bertanya soal kamu. Bapak tidak bohong.” Jelasnya membuat wajahku memerah.
“Tidak ada alasan untuk menolak Tiara. Dia anak yang sangat baik dan manis. Tapi aku merasa tidak pantas, Pak! Orang tuaku…”
“Oh ya, dimana orang tua mu tinggal? Kamu bisa panggil dia ke Jakarta.”
Aku mematung menyimak pertanyaan itu. Butuh beberapa menit untuk menjawabnya.
“Aku anak yatim piatu, Pak.” Kataku. Entahlah… ini sulit dijelaskan kenapa aku harus berbohong. Keadaan yang memaksaku. Kulihat Pak Hendrik terdiam seketika.
“Aku tak peduli dengan masa lalu kamu. Biarpun kau anak yatim piatu, anak pemulung, pengemis, aku tidak peduli, Surya!” Ucapnya kemudian senyuman menghiasi bibirnya.
Apa? Senyuman Pak Hendrik justru malapetaka buatku. Aku mengutuk diriku sendiri karena telah berbohong soal orang tuaku. Sial!
“Jadi bagaimana? Kamu bersedia?” Tanya Pak Hendrik lagi.
“Aku bersedia, Pak!”
***
Waktu break kerja Burhan menyeretku ke Toilet. Katanya ada hal mendesak terjadi.
“Ada apa Burhan? Kamu tahu waktuku cuma 60 menit untuk istrahat.” Tanyaku.
“Ada kabar dari emak kamu semalam! Abah minta kamu pulang, Sur! Ayo… aku akan ikut denganmu.” Pekik Burhan.
“Itu tidak mungkin! Kamu tahu kesibukan aku disini kan?”
“Tapi, Sur. Sesibuk apapun itu kamu harus mengutamakan mereka! Aku mohon…” Pinta Burhan. Aku semakin tidak mengerti dengan cara berpikirnya. Dia seolah menghantui urusan pribadiku.
“Tetap tidak mungkin, Burhan!”
“Ingat abahmu, Surya! Dia sedang menunggumu. Kamu tidak kasihan? ”
“Stop! Aku sudah terlanjur bilang ke Pak Hendrik kalau aku anak yatim piatu. Tidak mungkin aku bilang kalau aku akan menemui abah. Kamu sudah gila? Karirku bisa tenggelam karena itu!”
Bukkk! Burhan meninjuku dengan kepalan tangannya. Rasanya cukup sakit. Aku ingin membalas tinjunya tapi ruangan toilet itu sangat sempit. Ditambah lagi, aku tidak ingin terlihat bodoh berkelahi dengan janitor.
“Aku akan akan pergi kesana sendiri!” Lirih Burhan akhirnya lalu pergi.
***
Sejak peristiwa di toilet Burhan jarang menegur atau menyapaku. Sebetulnya tidak ada ruginya bagiku dia berbuat begitu. Tapi yang aku takutkan adalah kalau teman kantorku yang lain menangkap keanehan tingkah Burhan. Ini akan jadi masalah kalau Burhan membocorkan rahasia. Namun sejauh ini, Pak Hendrik atau yang lain tidak pernah menyinggung soal orang tuaku, itu artinya Burhan masih tutup mulut.
***

Bulan pun berganti tahun. Tahun demi tahun aku lewati. Statusku di kantor sudah menjadi pegawai tetap. Banyak hal terjadi dalam perjalanan karirku disini. Yang pertama, Burhan mengundurkan diri. Aku tidak mengerti dengan alasannya. Dia sama sekali tidak terbuka. Kedua, sekarang aku sudah resmi menjadi suami Tiara. Untuk yang kedua ini aku sangat bahagia, apalagi beberapa minggu lalu dokter mendiagnosa kalau Tiara tengah mengandung. Aku akan menjadi ayah! Dan yang ketiga, semua mimpi – mimpiku tercapai. Sekarang, aku sudah punya rumah dan Pak Hendrik menghadiahiku sebuah mobil atas prestasiku dikantor. Syukurlah…
Kiranya malam ini merupakan malam yang sangat spesial dan dinantikan seluruh umat didunia. Di hiruk pikuk ibukota, suara takbir yang hanya bisa kudengarkan sekali setahun tengah berkumandang dari surau dekat rumahku. Allaahu akbar… Allaahu akbar… Allaahu akbar… laa illaa haillallahuwaallaahuakbar. Allaahu akbar walillaahil hamd. Yah, ini adalah malam takbir. Besok, untuk pertama kalinya aku merayakan lebaran dengan istriku.
“Mas, besok setelah sholat ied kita berkunjung ke rumah ayah ya?” Seru istriku seraya menuangkan coklat hangat kesukaanku. Kami tengah duduk santai di serambi rumah sambil mendengarkan takbir.
“Iya.. kita berangkat pukul 10.00 pagi.” Jawabku pelan.
“Kamu tahu Mas? Kalau malam lebaran ini aku selalu ingat cerita ayah waktu di kampung.” Ucap istriku lagi. Aku cukup tersentak. Ini pertama kalinya istriku cerita soal masa lalu Pak Hendrik.
“Bisa kamu ceritakan soal itu, Sayang?”
“Dulu waktu ayahku belum sukses seperti ini, katanya ayah hanya punya gubuk kecil dan kerapkali puasa karena tidak punya makanan. Lalu ayah hijrah ke ibukota, beruntung kerja keras ayah membuahkan hasil. Ceritanya hampir mirip Mas Surya sekarang. Hanya bedanya, orang tua Mas sudah meninggal.” Tukas Tiara.
Perasaanku terombang – ambing dan tidak karuan mendengar penjelasan Tiara.
“Kalau orang tua Mas Surya masih ada pasti beliau sangat bangga ya Mas? Anaknya sudah sukses dan berhasil. Beliau pun akan semakin bangga kalau tahu cucu dalam perutku akan lahir.” Tambah Tiara.
Air mataku menetes. Aku terisak. Tiara memeluk dan mencoba menenangkanku.
“Kamu kenapa, Mas?”
Aku berbohong bahwa aku tidak apa – apa. Tiara memaksaku. Barulah aku ceritakan kebenarannya. Kebenaran siapa Surya sebenarnya. Surya anak kampung yang berniat ke ibukota untuk membahagiakan orang tuanya. Tiara sangat kaget. Dia sempat terdiam dan bahkan menitikkan air matanya menyusulku.
“Mas harus temui emak dan abah secepatnya! Mas punya nomor kontaknya?” Tanya Tiara.
Aku langsung teringat Burhan. Dia satu – satunya orang yang bisa menghubungkan aku dengan emak.
“Telfon Burhan sekarang Mas!” Pekik Tiara. Aku menurut. Aku meraih HP ku dan mencari kontak Burhan dan menelfonnya.
“Assalamualaikum, Burhan?” Ucapku, aku tahu Burhan mengangkat panggilanku.
“Waalaikumsalam.”
“Burhan ini aku, Surya. Aku tahu kamu sangat membenciku. Tapi izinkan aku mengobrol dengan Abah, Emak, dan Amir. Aku rindu mereka semua! Besok aku akan mengunjungi mereka.”
“Aku senang kamu akhirnya ingat mereka. Tapi….”
“Tapi apa?”
“Kamu tidak akan bisa menemui abah. Kamu masih ingat saat aku memaksamu untuk pulang di toilet. Itu hari terakhirnya. Permintaan terakhirnya adalah melihat anaknya yang berhasil di Jakarta.”
Sejurus bulir air mataku semakin deras. Bahkan Burhan bisa mendengar isakan tangisku sekarang.
“Aku menyesal Burhan, sangat menyesal. Biarkan aku bicara dengan emak sekarang. Aku mohon…”
“Maaf Surya. Emak dan adikmu pun sudah tiada. Adikmu meninggal karena tipus. Emak dulu terus memintamu kirim uang adalah untuk kesembuhan Amir. Tapi…”
Burhan sempat menahan perkataannya karena tangisanku semakin keras.
“Emak terpukul berat. Kutebak emak sangat terguncang dan kesepian. Emak merasa tidak punya siapa – siapa. Tidak lama setelah itu emak pun meninggal.”
Aku tersungkur. Aku tidak sanggup lagi mendengar setiap kata dari Burhan. Aku terus mengutuk diriku sendiri. Ya Tuhan… ini kah jawabanmu atas doa – doaku? Kau kabulkan segala pinta namun Kau ambil mereka semua? Inikah alasanmu membiarkanku miskin? Tuhan…


SELESAI
by Wawan Setiawan

No comments:

Post a Comment