Andaikan
kita boleh berargumen kepada Tuhan sebelum kita lahir, mungkin kita akan
menyeleksi orang seperti apa yang pantas menjadi orang tua kita. Tentulah bukan
orang tua miskin yang tidak menjamin masa depan. Bukan pemulung, pengemis,
ataupun pedagang kaki lima. Siapa yang mau? Tidak ada orang di dunia yang sudi
dilahirkan miskin. Semua diukur dengan uang. Semuanya! Titik! Cuma orang
sinting yang berani bilang “Aku siap miskin!”. Atau bisa jadi ini perkara
keberuntungan? Dilahirkan miskin dan tidak miskin adalah dua mata koin yang
Tuhan lempar untuk kita.
Kemiskinan bukan hal aneh bagiku. Aku sudah hidup miskin sejak orok. Orang tuaku miskin, kakek nenekku miskin, mungkin buyutku juga. Kenyataan ini membuat aku sentimentil dengan orang kaya. Aku benci mereka yang suka menceramahi kami untuk sabar. Sabar? Kalau kami tidak sabar mungkin kami sudah mati terjun ke sungai. Mereka dengan mudahnya berkata seolah mereka lebih kuat dari kami, padahal itu hanya skenario mereka karena mereka tidak pernah seperti kami. Mereka tidak pernah menahan lapar karena tidak punya beras. Mereka tidak pernah makan nasi bekas 2 – 3 hari lalu. Mereka tidak pernah menahan sakit karena tidak sanggup membeli obat. Mereka tidak pernah menunggu uluran tangan para dermawan agar kami berbahagia saat lebaran. Mereka tidak pernah!
Sepertinya
Tuhan tidak pernah berhenti menguji hamba hina sepertiku ini. Setahun lalu,
ayahku yang hanya seorang petani terserang struk. Keadaan keluargaku semakin
tercekik. Lalu siapa yang akan mencari sesuap nasi untuk kami? Tuhan? Tuhan
akan mengirimi kami nasi? Kami tidak punya uang untuk membawa ayah ke rumah
sakit. Hanya beberapa tetangga yang masih menaroh empati untuk berkunjung dan
membawa beberapa makanan seperti roti, susu, dan buah. Ibuku yang juga seorang
petani pun beralih profesi menjadi perawat pada saat itu. Perawat yang memijat,
menyuapi, dan memandikan ayah yang hanya terbujur kaku di tempat tidur.
Terpaksa, uang tabunganku yang hanya beberapa ratus aku pakai untuk menyokong
perut kami saat itu.
Di
setiap sujudku aku berdoa. Tuhan… aku ingin sudahi kehidupan pahit ini.
Bukankah hamba juga berhak mendapat kebahagiaan itu? Apa kurang hamba? Hamba
sudah menjalankan kewajiban hamba untuk sholat, puasa, dan sedekah. Apakah itu
tidak cukup? Aku menangis setiap kali membacakan kalimat – kalimat itu.
Maka,
pada suatu malam sehabis isya, muncul sebuah ide dibenakku. Setelah lulus SMA,
aku ingin merantau ke ibukota. Niatku tulus. Aku ingin mengangkat derajat
mereka, orang tuaku terutama. Aku punya kakak perempuan yang gagal memberi kami
kebahagiaan. Pasca pernikahannya, dia pergi bersama suaminya ke Kalimantan dan
tak pernah kembali seakan melupakan keberadaan kami. Mungkin kami sampah
dimatanya karena sejak kecil pun dia sama sekali tak peduli dengan keadaan
kami. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi mengungkit – ngungkitnya. Itu hanya
mengorek luka kedua orang tuaku yang sudah mereka kubur dalam – dalam. Dan
lagi, aku masih punya Amir, adik laki – lakiku yang masih SD. Aku tidak sanggup
melihat dia mengulang kesalahan kakakknya. Aku ingin dia bahagia dan berhasil.
Mewujudkan cita – citanya menjadi polisi kelak. Aamiin.
“Mak, aku sepertinya mau merantau saja ke Jakarta.” Pintaku
pada emak yang baru saja melepas mukenahnya.
“Merantau? Kamu yakin?” Ujar emak. Suaranya parau, aku tebak
dia menangis ketika berdoa tadi.
“Yakin sekali. Aku masih punya tabungan sedikit. Itu cukup
untuk satu bulan disana. Aku akan kerja keras dan menjemput kebahagiaan
keluarga kita. Mak tahu Burhan kan? Dia temanku wakktu SD. Beberapa hari lalu
dia datang dan mengajakku. Ini kesempatanku Mak.” Jelasku. Emak hanya tertunduk.
“Emak tidak minta apa – apa darimu, Surya. Begini saja emak
sudah bahagia.” Kata emak. Tanganya yang sudah berkeriput mengusap punggungku.
“Emak mau kita hidup seperti ini terus? Aku tidak sanggup,
Mak! Aku mati – matian cari duit untuk sekolah dan aku tidak mau menyianyiakan
kesempatan ini. Tolong restui aku, Mak…”
Tak kusangka air mata emak jatuh mendengar kalimatku.
Kemudian dia kembali berujar, “Emak restui kamu, Emak menangis karena bahagia.”
Ku
peluk emak seketika itu juga. Tubuhnya sudah termakan usia dan rapuh. Bulir air
mata pun jatuh juga di kedua mataku.
***
Begitu
ijazah sudah aku terima dari sekolah, aku langsung meluncur ke ibukota. Aku
berangkat pagi – pagi sekali. Aku melarang emak mengantarku ke stasiun. Cuaca
sangat dingin, aku tidak mau emak sakit dan terserang flu. Aku sudah mencatat
nomor HP tetanggaku, kelak aku punya uang dan bisa membali HP, aku akan sering
– sering memberi kabar. Sempat aku menangis ketika berpamitan dengan abah.
“Hati – hati Surya... Abah mau sembuh. Abah mau kerja lagi.
Tolong belikan abah obat ya kalau sudah punya uang.” Itu seutas kalimat yang
disampaikan abah. Memang sangat dramatis sekali. Itulah kami! Hal yang paling
sederhana bisa berubah menjadi sangat menyedihkan. Namun, itu adalah sumber
kekuatanku. Niatku semakin berapi – api untuk membahagiakan mereka.
Bus
yang ku tumpangi cukup tenang dan perjalanan cukup lancar. Aku tahu betul
alamat Burhan karena beberapa kali aku pernah singgah di tempat kostnya.
Begitu
sampai, Burhan menyambutku dengan hangat. Meskipun tempat kostnya terbilang
sempit karena harganya memang cukup murah tapi areanya cukup nyaman. Pemilik
kostnya pun sangat ramah. Membuatku semakin betah tinggal disana.
“Aku sudah bilang ke atasan soal kamu. Kamu besok bisa mulai
bekerja!” Ujar Burhan.
“Alhamdulillah..”
Ucapku.
Yah,
besok aku akan bekerja sebagai janitor di Bank Swasta Ibukota.
Aku paham betul, aku Cuma bermodal ijazah SMA kampung yang keberadaannya pun
mungkin tidak diketahui banyak orang. Maka, aku tidak pernah bermimpi terlalu
muluk mau menjadi manajer atau pegawai negri. Mimpi cuma milik orang berduit.
***
Syukurlah
semua karyawan ditempat kerjaku sangat baik. Semuanya ramah dan tidak ada
senioritas. Meskipun aku hanya tukang sapu dan lap di kantor, mereka tidak
pernah berlaku kasar terhadapku. Pernah aku sekali berbuat kesalahan seperti
lupa mengganti sabun di toilet. Seorang customer komplain ke atasanku. Namun,
beliau memberitahuku dengan pelan dan halus.
Gaji
yang kuterima memang tidak terlalu besar. Cukuplah untuk hidup di ibukota
sendiri. Kuhitung – hitung, aku bayar setengah uang kost dengan Burhan sebesar
Rp.200.000. Lalu, untuk biaya makan dan sabun aku targetkan Rp.600.000. Sisanya
aku tabung untuk beli HP. Aku malu menjadi satu – satunya orang yang tidak punya
HP.
Gaji
kedua, ketiga, sampai kelima aku masih belum bisa mengirim uang ke emak. Ada
perasaan bersalah memang, tapi aku pikir emak pasti mengerti. Toh beberapa
bulan lalu waktu aku kasih kabar, emak bilang kalau dia berjualan pisang
goreng. Adikku pun turut membantu katanya. Aku yakin emak tidak kelaparan dan
kekurangan apapun. Disini, banyak hal diluar dugaan terjadi. Banyak kebutuhan
yang harus aku dahulukan. Beberapa baju yang aku bawa dari kampung sudah tidak
layak pakai. Maka, setiap bulan aku wajib membeli yang baru. Belum ajakan teman
nongkrong diluar. Yah, minimal Rp. 50.000 – Rp. 100.000 uang harus keluar. Dan
Alhamdulillah… niatku beli HP terpenuhi, meskipun Cuma HP Cina yang satu
jutaan. Aku tidak perlu malu lagi sekarang dengan yang lain, terlebih aku tak
perlu repot meminjam HP Burhan untuk sekedar menghubungi emak.
***
Rotasi
bumi terasa cepat di ibukota. Usiaku merantau kini 2 tahun. Ada satu momen
terjadi yang bisa dikatakan telah mengubah duniaku di ibukota. Persisnya adalah
ketika seorangfront liner yang resign mendadak.
Atasanku, Pak Hendrik, kalang kabut saat itu karena kantor sedang sangat ramai.
Secara mendadak dia menawarkanku untuk menjadi front linersementara
sampai orang baru datang. Dia melihat pengetahuanku tentang komputer cukup baik
dan penampilanku pun tidak jauh beda dengan yang lain. Tidak begitu sulit
berada diposisi itu. Aku cepat mengerti dan paham segala hal yang diajarkan
atasanku. Setelah itu keajaiban pun kembali terjadi. Pak Hendrik memutuskan
agar aku tetap menjadi front liner. Itu artinya aku tidak perlu
lagi datang pagi – pagi untuk menyapu dan mengepel lantai.
Seiring
dengan posisiku yang membaik. Aku memutuskan pindah kost. Aku merasa kost
Burhan sangat sempit sekali. Barang – barangku bertambah banyak setiap bulan.
Untungnya Burhan tidak merasa keberatan. Kostku kali ini berkali – kali lipat
lebih baik dari sebelumnya. Kamar mandi, spring bed, kipas angin,
lengkap dengan meja kursi dan televisi. Dan lagi, untuk memenuhi kost baru itu
aku belum bisa lagi mengirim uang rutin ke emak. Hanya sekali ku kirim karena
emak perlu untuk bayar hutang. Setelah itu aku tidak pernah kirim lagi meskipun
emak meminta.
“Mak
harap maklum yah. Aku disini hidup sendiri. Perlu makan, beli baju, jajan, dan
belum yang lain – lain. Kalau aku kurang uang, emak bisa kirim?” Itu hal
terakhir yang aku sampaikan waktu Emak bilang butuh uang. Terkadang aku merasa
kasihan terhadap diriku sendiri. Aku iri dengan teman kantorku yang bisa
menggunakan uang mereka sesuka hati tanpa pertimbangan panjang kirim ke orang
tua. Bahkan kalau gaji mereka habis, dengan cepat orang tua mereka paham dan
memberi tambahan uang. Namun, aku sadar kalau menggerutu bukan solusi untuk
orang sepertiku. Disini aku harus berjuang untuk menjemput kebahagiaanku. Sama
sekali aku tidak bisa bergantung pada emak dan abah.
***
Tepat
hari ini ulang tahunku yang ke 25. Aku mengundang teman – teman kantor untuk
datang ke tempat kostku. Aku memesan banyak pizza dan minuman. Suasana cukup
ramai sekali. Satu – satunya orang yang tidak aku undang datang. Burhan.
“Assalamualaikum… “ Ucap Burhan berdiri didepan pintu kost.
Aku mengangkat alisku sedikit terkejut.
“Waalaikumsalam..” Jawabku,
“Sur, ada pesan dari emak kamu. Kamu baca sekarang yah!”
Ujar Burhan lagi. Suaranya yang lantang membuat teman – teman kantorku
terkekeh. Bahkan salah satu teman kantor yang aku sukai disitu pun tertawa
melihat polosnya Burhan. Aku segera berdiri mendekat dan menggiring Burhan
keluar.
“Kamu bikin malu aku aja sih Han.” Pekikku kesal. Aku
berharap mereka tertawa bukan karena ucapan Burhan melainkan penampilan Burhan
yang hanya berkaos oblong kekecilan, celana pendek, dan sandal jepit.
“Malu gimana. Kamu coba baca pesan ini!” Burhan menyodorkan
HP nya tapi aku tidak tertarik membaca pesan itu.
“Emak kamu butuh uang. Katanya kamu tidak pernah kirim uang
lagi.” Seru Burhan kemudian.
“Biarkan saja. Emak emang selalu begitu. Tapi kamu gak perlu
datang kesini juga kan? Malu aku sama semuanya. Kamu kan tinggal kirim lagi
pesannya.” Rutukku.
Seketika Burhan membisu.
“Ada hal lain, Burhan? Tidak enak teman – temanku menunggu
lama.” Seruku.
“Baik.
Aku mengerti. Tukang sapu sepertiku memang tidak pantas berada ditempat kost
mahal ini.” Itu kalimat terakhir Burhan. Lalu dia pergi begitu saja. Ucapannya
terlalu berlebihan menurutku. Aku tidak ada waktu untuk mengejarnya. Aku segera
kembali masuk dan berkumpul dengan teman kantorku.
***
Karirku
semakin baik di Jakarta. Aku yakin ini karena kegigihanku. Pak Hendrik semakin
menyukaiku. Dia seringkali mengajakku makan malam atau makan siang bersama.
Persis seperti hari ini dia kembali mengundang. “Ada pertemuan yang sangat
penting dan kamu harus datang!” Ujarnya di telfon. Tidak ada alasan untuk
menolak, maka aku segera meluncur ke tempat itu.
“Aku merasa kagum melihat perkembangan kamu, Surya. Aku
ingin kamu mau menjalin hubungan dengan Tiara, anak perempuanku.” Ucap Pak
Hendrik serius. Kami berada di restauran langganan Pak Hendrik. Aku sontak
terperangah mendengarnya.
“Maksud Bapak?”
“Maukah kamu menikahi anakku?”
Duarrr! Hati ini terasa meledak berkeping – keeping! Tiara?
Tiara adalah perempuan cantik yang sekarang menjadi konsultan hebat di Jakarta.
Aku merasa tidak sebanding dengannya. Dia berhak mendapat yang lebih baik
dariku.
“Bapak pasti bercanda….” Kataku.
“Ini serius, Surya! Aku yakin kamu orang yang sangat pantas
menikahi Tiara. Lagipula, dia sepertinya punya rasa ketertarikan terhadapmu.
Dia seringkali bertanya soal kamu. Bapak tidak bohong.” Jelasnya membuat
wajahku memerah.
“Tidak ada alasan untuk menolak Tiara. Dia anak yang sangat
baik dan manis. Tapi aku merasa tidak pantas, Pak! Orang tuaku…”
“Oh ya, dimana orang tua mu tinggal? Kamu bisa panggil dia
ke Jakarta.”
Aku mematung menyimak pertanyaan itu. Butuh beberapa menit
untuk menjawabnya.
“Aku anak yatim piatu, Pak.” Kataku. Entahlah… ini sulit
dijelaskan kenapa aku harus berbohong. Keadaan yang memaksaku. Kulihat Pak
Hendrik terdiam seketika.
“Aku tak peduli dengan masa lalu kamu. Biarpun kau anak
yatim piatu, anak pemulung, pengemis, aku tidak peduli, Surya!” Ucapnya
kemudian senyuman menghiasi bibirnya.
Apa? Senyuman Pak Hendrik justru malapetaka buatku. Aku
mengutuk diriku sendiri karena telah berbohong soal orang tuaku. Sial!
“Jadi bagaimana? Kamu bersedia?” Tanya Pak Hendrik lagi.
“Aku
bersedia, Pak!”
***
Waktu break kerja Burhan menyeretku ke
Toilet. Katanya ada hal mendesak terjadi.
“Ada apa Burhan? Kamu tahu waktuku cuma 60 menit untuk
istrahat.” Tanyaku.
“Ada kabar dari emak kamu semalam! Abah minta kamu pulang,
Sur! Ayo… aku akan ikut denganmu.” Pekik Burhan.
“Itu tidak mungkin! Kamu tahu kesibukan aku disini kan?”
“Tapi, Sur. Sesibuk apapun itu kamu harus mengutamakan
mereka! Aku mohon…” Pinta Burhan. Aku semakin tidak mengerti dengan cara
berpikirnya. Dia seolah menghantui urusan pribadiku.
“Tetap tidak mungkin, Burhan!”
“Ingat abahmu, Surya! Dia sedang menunggumu. Kamu tidak
kasihan? ”
“Stop! Aku sudah terlanjur bilang ke Pak Hendrik kalau aku
anak yatim piatu. Tidak mungkin aku bilang kalau aku akan menemui abah. Kamu
sudah gila? Karirku bisa tenggelam karena itu!”
Bukkk! Burhan meninjuku dengan kepalan tangannya. Rasanya
cukup sakit. Aku ingin membalas tinjunya tapi ruangan toilet itu sangat sempit.
Ditambah lagi, aku tidak ingin terlihat bodoh berkelahi dengan janitor.
“Aku
akan akan pergi kesana sendiri!” Lirih Burhan akhirnya lalu pergi.
***
Sejak peristiwa di toilet Burhan jarang menegur atau
menyapaku. Sebetulnya tidak ada ruginya bagiku dia berbuat begitu. Tapi yang
aku takutkan adalah kalau teman kantorku yang lain menangkap keanehan tingkah
Burhan. Ini akan jadi masalah kalau Burhan membocorkan rahasia. Namun sejauh
ini, Pak Hendrik atau yang lain tidak pernah menyinggung soal orang tuaku, itu
artinya Burhan masih tutup mulut.
***
Bulan
pun berganti tahun. Tahun demi tahun aku lewati. Statusku di kantor sudah
menjadi pegawai tetap. Banyak hal terjadi dalam perjalanan karirku disini. Yang
pertama, Burhan mengundurkan diri. Aku tidak mengerti dengan alasannya. Dia
sama sekali tidak terbuka. Kedua, sekarang aku sudah resmi menjadi suami Tiara.
Untuk yang kedua ini aku sangat bahagia, apalagi beberapa minggu lalu dokter
mendiagnosa kalau Tiara tengah mengandung. Aku akan menjadi ayah! Dan yang
ketiga, semua mimpi – mimpiku tercapai. Sekarang, aku sudah punya rumah dan Pak
Hendrik menghadiahiku sebuah mobil atas prestasiku dikantor. Syukurlah…
Kiranya
malam ini merupakan malam yang sangat spesial dan dinantikan seluruh umat
didunia. Di hiruk pikuk ibukota, suara takbir yang hanya bisa kudengarkan
sekali setahun tengah berkumandang dari surau dekat rumahku. Allaahu akbar… Allaahu akbar… Allaahu akbar… laa illaa
haillallahuwaallaahuakbar. Allaahu akbar walillaahil hamd. Yah, ini
adalah malam takbir. Besok, untuk pertama kalinya aku merayakan lebaran dengan
istriku.
“Mas, besok setelah sholat ied kita berkunjung ke rumah ayah
ya?” Seru istriku seraya menuangkan coklat hangat kesukaanku. Kami tengah duduk
santai di serambi rumah sambil mendengarkan takbir.
“Iya.. kita berangkat pukul 10.00 pagi.” Jawabku pelan.
“Kamu tahu Mas? Kalau malam lebaran ini aku selalu ingat
cerita ayah waktu di kampung.” Ucap istriku lagi. Aku cukup tersentak. Ini
pertama kalinya istriku cerita soal masa lalu Pak Hendrik.
“Bisa kamu ceritakan soal itu, Sayang?”
“Dulu waktu ayahku belum sukses seperti ini, katanya ayah
hanya punya gubuk kecil dan kerapkali puasa karena tidak punya makanan. Lalu
ayah hijrah ke ibukota, beruntung kerja keras ayah membuahkan hasil. Ceritanya
hampir mirip Mas Surya sekarang. Hanya bedanya, orang tua Mas sudah meninggal.”
Tukas Tiara.
Perasaanku terombang – ambing dan tidak karuan mendengar
penjelasan Tiara.
“Kalau orang tua Mas Surya masih ada pasti beliau sangat
bangga ya Mas? Anaknya sudah sukses dan berhasil. Beliau pun akan semakin
bangga kalau tahu cucu dalam perutku akan lahir.” Tambah Tiara.
Air mataku menetes. Aku terisak. Tiara memeluk dan mencoba
menenangkanku.
“Kamu kenapa, Mas?”
Aku berbohong bahwa aku tidak apa – apa. Tiara memaksaku.
Barulah aku ceritakan kebenarannya. Kebenaran siapa Surya sebenarnya. Surya
anak kampung yang berniat ke ibukota untuk membahagiakan orang tuanya. Tiara
sangat kaget. Dia sempat terdiam dan bahkan menitikkan air matanya menyusulku.
“Mas harus temui emak dan abah secepatnya! Mas punya nomor
kontaknya?” Tanya Tiara.
Aku langsung teringat Burhan. Dia satu – satunya orang yang
bisa menghubungkan aku dengan emak.
“Telfon Burhan sekarang Mas!” Pekik Tiara. Aku menurut. Aku
meraih HP ku dan mencari kontak Burhan dan menelfonnya.
“Assalamualaikum, Burhan?” Ucapku, aku tahu Burhan
mengangkat panggilanku.
“Waalaikumsalam.”
“Burhan ini aku, Surya. Aku tahu kamu sangat membenciku.
Tapi izinkan aku mengobrol dengan Abah, Emak, dan Amir. Aku rindu mereka semua!
Besok aku akan mengunjungi mereka.”
“Aku senang kamu akhirnya ingat mereka. Tapi….”
“Tapi apa?”
“Kamu tidak akan bisa menemui abah. Kamu masih ingat saat
aku memaksamu untuk pulang di toilet. Itu hari terakhirnya. Permintaan
terakhirnya adalah melihat anaknya yang berhasil di Jakarta.”
Sejurus bulir air mataku semakin deras. Bahkan Burhan bisa
mendengar isakan tangisku sekarang.
“Aku menyesal Burhan, sangat menyesal. Biarkan aku bicara
dengan emak sekarang. Aku mohon…”
“Maaf Surya. Emak dan adikmu pun sudah tiada. Adikmu
meninggal karena tipus. Emak dulu terus memintamu kirim uang adalah untuk
kesembuhan Amir. Tapi…”
Burhan sempat menahan perkataannya karena tangisanku semakin
keras.
“Emak terpukul berat. Kutebak emak sangat terguncang dan
kesepian. Emak merasa tidak punya siapa – siapa. Tidak lama setelah itu emak
pun meninggal.”
Aku tersungkur. Aku tidak sanggup lagi mendengar setiap kata
dari Burhan. Aku terus mengutuk diriku sendiri. Ya Tuhan… ini kah jawabanmu
atas doa – doaku? Kau kabulkan segala pinta namun Kau ambil mereka semua?
Inikah alasanmu membiarkanku miskin? Tuhan…
SELESAI
by Wawan Setiawan
No comments:
Post a Comment